Makalah Presidential Threshold Dengan Metode IRAC

 ANALISIS DAN OPINI HUKUM TENTANG PENERAPAN PRESIDENTIAL THRESHOLD DI INDONESIA  MENGGUNAKAN METODE IRAC

                      Oleh: Ihsan Ahmad Barokah 


A. ISSUE

Pada tanggal 26 Desember 2021, melalui kanal Youtube Indonesian Lawyers Club mengadakan diskusi publik dengan tema: "Presidential Threshold 20%, Adilkah?" Acara yang dipandu oleh Karni Ilyas itu menghadirkan beberapa pakar hukum dan beberapa pengamat dan pelaku politik. Diantaranya Ferry Juliantono dan (Purn). Jendral Gatot Nurmantyo yang pada saat itu diberikan kesempatan pertama untuk berbicara dengan alasan karena memang saat ini mereka berdua sedang melayangkan gugatan terbaru ke Mahkamah Konstitusi. Mereka berpendapat bahwasannya PT20% inkonstitusional atau tidak terdapat dalam Konstitusi (UUD 1945). Adapun pembatasan yang dimaksud  adalah bahwa "…pasangan capres dan cawapres tersebut diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik" . Aturan PT juga diduga bertujuan membatasi jumlah calon dan meminimalisir partisipasi dalam kontestasi demokrasi dalam hal ini pilpres. Terbukti pada pilpres 2014 dan 2019 yang hanya melahirkan dua pasangan calon sejak awal sehingga berimbas pada pembelahan di tengah masyarakat. Kemudian jika tiket pencalonan dengan PT tinggi dapat menghadirkan potensi untuk lahirnya praktik transaksional (mahar politik) dan tindak pidana korupsi. Terbukti dengan adanya dukungan dari Pimpinan KPK Firli Bahuri atas proses gugatan PT0% beberapa pekan kebelakang. 

Selain itu hadir juga Prof. Effendi Ghazali dan Irman Putrasidin yang sebelumnya juga pernah melayangkan gugatan serupa ke MK dan hasilnya masih ditolak. Salah satu alasannya antara lain MK menganggap bahwa aturan tersebut tidak bertentangan dengan Konsitusi (Undang-Undang Dasar 1945) karena perubahannya terkait aturan tersebut merupakan kewenangan pembentuk dan pembuat undang-undang (open legal policy) dalam hal ini Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat. Bahkan Effendi Ghazali berpendapat bahwa lahirnya ambang batas pencalonan presiden ini bukanlah didasarkan kepada amanat konstitusi melainkan hanya sebuah "akal-akalan" bahkan menyebutnya sebagai "hegemoni politik" dari penguasa. Aturan ini sepertinya memang sengaja disepakati untuk mencekal partisipasi demokrasi dalam arti yang sebenarnya. Secara praktis  aturan tersebut mencekal partai politik kecil dan menengah dalam mempunyai tiket capres. Beliau menjelaskan bahwa di negara-negara besar yang selalu dijadikan kiblat atau studi banding demokrasi sebut saja misalnya Amerika, Rusia, China dan negara Amerika Latin tidak ada yang menerapkan presidential threshold. Misalnya di Rusia pada pemilu yang diikuti oleh Presiden Vladimir Putin diikuti pula oleh enam calon presiden lainnya. Hal ini tentu tidak bisa dibenarkan karena tidak mempunyai dasar argumentasi yang jelas. Dengan PT 20% demokrasi di Indonesia dalam rangka pilpres tersumbat.

Kemudian, sebagai pengimbang dihadirkan juga para politisi yang tergabung dalam koalisi yaitu Saan Mustofa dari Partai Nasdem dan Masinton Pasaribu dari PDIP yang berbeda pendapat tentang pemberlakuan PT20%. Argumentasinya antara lain bahwasannya semangat reformasi telah mampu melahirkan Mahkamah Konstitusi kemudian transformasi demokrasi dalam bidang hukum dan politik juga telah berjalan di Indonesia sesuai dengan harapan masyarakat. Dalam bidang hukum lahirnya amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dan lahirnya berbagai undang-undang lainnya sebagai turunan seperti Undang-Undang Pemerintah Daerah, Undang-Undang Pemilihan Umum, termasuk Undang-Undang Pemilihan Langsung Presiden. Jadi aturan yang ada saat ini tentang ambang batas pada pencalonan presiden adalah merupakan buah hasil dinamika politik dari Pemerintah dan DPR sebagai representasi keinginan dan harapan masyarakat. Buktinya antara lain konsistensi Mahkamah Konstitusi atas 13 gugatan terkait PT yang selama ini diajukan oleh berbagai kalangan baik masyarakat, akademisi, bahkan politisi.Hal tersebut sesuai dengan amanat dari Pasal 6A Ayat (5) Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang. Masinton Pasaribu berpendapat bahwa kepemimpinan nasional itu harus sejak awal mempunyai legitimasi rakyat. Dalam hal ini berarti Partai Politik harus mempunyai akar dukungan rakyat yang cukup untuk dapat mendapatkan tiket mencalonkan presiden. Hal itulah yang membedakan antara pemilihan calon presiden dengan pemilian calon kepala desa (tidak ada ambang batas pencalonan). Pada waktu 2008 lahirnya 20% PDIP saat itu di parlemen hanya 14%. Namun saat itu ikut mendukung karena beranggapan bahwasannya system presidensial harus ditopang oleh basis dukungan yang kuat juga dalam hal ini jumlah kursi di parlemen melalui partai politik.

Sementara Saan Mustofa dalam kesempatan tersebut menyatakan bahwa aturan PT bukanlah hal yang baru karena sejak pemilu 2004 sebagai pemilihan presiden secara langsung pertama dimana ambang batas pencalonan yang diseutkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 Pasal 5 Ayat (4) yang menentukan ahwa PT15% kursi parlemen atau 20% suara rakyat. Akan tetapi dalam Pasal 110 nya ada aturan peralihan yang menyatakan kekhususan pada pemilu 2004 jumlah presidential threshold 3% kursi dpr atau 5% perolehan suara. Kemudian apa yang terjadi? Saat itu muncul lima pasangan capres-cawa[pres yang dimenangkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono – Jusuf Kalla setelah melalui dua putaran pemilihan. Mulailah sejak pemilu 2009 mutlak dierlakukan dan sejak saat itu ambang batas naik menjadi 20% kursi DPR atau 25% dukungan rakyat. Melihat kondisi tersebut Partai Nasdem mengusulkan adanya penurunan jumlah PT ke angka 15% persen lagi karena memang sejak pemilu 2014 dan 2019 yang hanya melahirkan dua pasangan calon presiden saja maka di DPR banyak partai-partai yang menghendaki penurunan threshold namun pada akhirnya tencana atas revisi undang-undang pemilu gagal masuk dalam prolegnas prioritas 2021 karena pemerintah tidak menghendaki hal tersebut dengan berbagai pertimbangan salah satunya menghindari munculnya perdebatan ditengah baru bangkitnya kembali ekonomi pasca pandemi. Presidential Threshold menurutnya tetap diperlukan sebagai modal efektivitas kerja saat terpilih nanti. Presiden terpilih yang tidak mendapatkan dukungan mayoritas di parlemen akan cukup kesulitan dalam menjalankan berbagai program kerjanya. Gugatan PT 0% akan menimulkan masalah baru karena dengan begitu bisa dikatakan bahwa setiap partai politik berhak untuk mencalonkan presiden. Apakah dengan banyaknya kandidat capres beranding lurus dengan kualitas demokrasi? Hal-hal seperti ini yang perlu kita pikirkan bersama.  

Selain itu akan coba penulis utarakan beberapa pendapat para tokoh terkait issue presidential threshold ini baik yang pro ataupun yang kontra dan semua referensi ini penulis dapatkan dari berbagai channel melalui arsip youtube. Pada sebuah acara yang dipandu oleh Najwa Shihab dengan tema "Pasar Bebas Capres Dengan Presidential Threshold" yang mempertemukan Rocky Gerung dengan Adian Napitupulu yang menimbulkan perdebatan cukup sengit. Namun disamping itu dihadirkan pula para tokoh lain seperti Feri Amsari dan Taufik Basari (Partai Nasdem). RG berpendapat " PT tidak diperlukan, prinsip dasar dalam bernegara salah satunya ya mentaati aturan dalam konstitusi, oleh karena itu kita harus mengambalikan makna primer dari konstitusi tidak boleh ditambahkan oleh apapun yang dapat merintanginya, PT 20% itu adalah akal-akalan konstitusional, konstitusi itu ibarat pembuluh darah masyarakat dan demokrasi, syarat pencalonan presiden itu telah jelas ditentukan oleh konstitusi jadi tidak diperlukan lagi adanya pembatasan dalam undang-undang." Sementara itu Adian berbeda pendapat tentang PT ini, menurutnya bahwa demokrasi memang memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk menentukan siapa yang memimpin dan mewakilinya, namun bukan berarti bebas-sebebas bebasnya (tanpa adanya pembatasan). PT ini merupakan mekanisme dari batasan dalam mekanisme dan praktek berdemokrasi di Indonesia. Dan hal itu pun merupakan hasil kesepakan bersama yang tidak melanggar hak yang lainnya. 

Kemudian segera disahut balik oleh RG bahwa jangan sampai karena hal teknis mengabaikan yang sifatnya lebih fundamental. Batasan Presidential Threshold dalam Undang-Undang Dasar 1945 sudah jelas disebutkan calon presiden dan wakil presiden yang telah mengantongi dukungan sebesar 50%+1 diputuskan sebagai pemenang. Dalam arti tidak diperbolehkan adanya aturan lainnya apalagi yang sifatnya membatasi, mengekang, bahkan menjegal di awal proses tersebut (baca:pencalonan). Apalagi yang lebih tidak masuk akal adalah dengan digunakannya perolehan suara partai politik pada pemilu sebelumnya, sementara kita ketahui bahwa selera dan dukungan masyarakat itu bersifat sangat dinamis atau tidak tetap. Tentu mekanisme demikian tidak adil. Feri Amsari juga melengkapi argumentasi tersebut menurutnya Pasal 222 UU Pemilihan Umum secara otomatis telah memasung hak dari sebagian partai politik yang secara jelas tela dijamin oleh UUD 1945 Pasal 6A. Namun kita juga harus memikirkan bahwa jika mekanisme PT dihilangkan, lalu mekanisme seperti apa dan bagaimana sebagai gantinya. Tentu dengan mempertimbangkan mekanisme yang lebih adil dan demokratis.

Adian Napitupulu mengatakan bahwa mekanisme penggunaan basis perolehan suara pemilu sebelumnya karena diputuskannya oleh Mahkamah Konstitusi terkait pemilu serentak  sehingga yang tadinya basis dukungan presidential threshold dari hasil pileg di pemilu yang sama menjadi berubah kepada perolehan hasil pemilu sebelumnya (karena pileg dan pilpres dilakukan secara serentak dan dalam waktu yang bersamaan). MK berpendapat bahwa pemilu serentak lebih efisien dari segi anggaran, meskipun pada prakteknya masih melahirkan berbagai permasalahan. Ini merupakan mekanisme yang sifatnya sementara dalam perjalanan berdemokrasi, tentu kedepan aka nada perubahan dan perkembangan lain sesuai dengan yang diharapkan masyarakat. Taufik basari juga menimpali bahwa aturan PT20% itu sudah sesuai aturan dari pemangku dan pembuat perundangan dalam hal ini Pemerintah dan DPR, jadi gugatan ke MK itu bukanlah langkah yang tepat buktinya lebih dari sepuluh kali gugatan itu dilayangkan dan MK masih teguh pada pendiriannya bahwa terkait perubahan dana tau penghilangan mekanisme tersebut berada pada wewenang pembuat kebijakan (open legal policy). 

Dari pendapat beberapa tokoh diatas yang menurut penulis telah cukup mewakili pendapat masyarakat baik yang mendukung ataupun menolakan penerapan aturan tersebut dengan beberapa alasan yang mendasarinya. Yang jelas dengan begitu banyaknya gugatan yang masuk ke Mahkamah Konstitusi hal ini menunjukkan bahwa mekanisme PT ini menyita perhatian public dan menurut saya tidak hanya terbatas pada para tokoh yang berharap membukakan pintu masuk baginya sendiri untuk menjadi bakal calon presiden dikemudian hari disaat putusan MK mengabulkan gugatan dan menghapuskan PT karena dianggap inkonstitusional akan tetapi mewakili seluruh kalangan baik mahasiswa, akademisi, masyarakat, bahkan politisi sekalipun. Mereka tidak pantang menyerah melayangkan gugatan demi terciptanya supremasi hukum yang adil dan sistem demokrasi Indonesia yang lebih baik. 


B. RULES

1. Undang-Undang Dasar 1945 

Pasal 6A 

(1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara  langsung oleh rakyat.***)

(2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan 

pemilihan umum.***)

(3) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar dilebih dari setengah setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.***)

(4) Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.****)

(5) Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang.***)

 

2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan  Wakil Presiden  

BAB II Peserta Pemilu Presiden Dan Wakil Presiden

Pasal 5

(1). Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden adalah Pasangan Calon yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik.

(2). Pengumuman calon Presiden dan Wakil Presiden atau Pasangan Calon oleh partai politik atau gabungan partai politik dapat dilaksanakan bersamaan dengan penyampaian daftar calon anggota DPR ke KPU.

(3) Pendaftaran Pasangan Calon oleh partai politik atau gabungan partai politik dilaksanakan setelah memenuhi persyaratan perolehan kursi DPR atau perolehan suara sah yang ditentukan oleh undang-undang ini kepada KPU.

(4) Pasangan Calon sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPR atau 20% (dua puluh persen) dari perolehan suara sah secara nasional dalam Pemilu anggota DPR.

3. Undang-Undang No.42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden

Pasal 9

Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

4. Undang-Undang No 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum 

BAB VI

Pengusulan Bakal Calon Presiden dan Wakil Presiden dan Penetapan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden dan Pencalonan Anggota DPR, DPD, DPRD Pprovinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota

Pasal 221

Calon Presiden dan Wakil Presien diusulkan dalam 1 (satu) pasangan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik.

Pasal 222

Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya. 

5. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013:


C. ANALISA/APLICATION

Dalam bagian ini penulis akan coba mempersandingkan antara aturan yang ada (rules) dengan fakta-fakta dilapangan baik terkait pelaksanaan ataupun gugatan terhadap presidential threshold ini dengan metode analisa personal yang sesekali akan dikuatkan oleh beberapa pendapat ilmiah dari kalangan akademisi dalam beberapa karya mereka pada jurnal-jurnal ilmiah yang  penulis ambil melalui publikasi pada Google Scholar dengan pencarian kata kunci "Presidentian Threshold di Indonesia" dan menepati pencarian pada halaman pertama dalam    artian akan cukup relevan jika dijadikan dasar  pada saat melakukan analisa dalam opini hukum ini sebagai pemenuhan tugas mata kuliah Kemahiran Hukum II. Disamping itu penulis berencana menjadikan makalah ini sebagai bahan pembuatan skripsi dengan rencana judul : "Analisa Politik Hukum Presidential Threshold Di Indonesia" (Studi kasus pembentukan hukum PT di Komisi II DPR RI serta perkembangannya dalam hukum positif di Indonesia).

Dalam konsep negara hukum, konstitusi marupakan dasar hukum tertinggi yang harus ditaati serta dijalankan baik oleh negara ataupun masyarakat. Indonesia sebagai negara hukum tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 Ayat (3) dalam arti bahwa siapapun harus tunduk kepada aturan hukum yang berlaku (baca: hukum positif). Pasal 6 dan 6A dalam UUD 1945 telah mengamanatkan bagaimana mekanisme pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Dari mulai siapa yang memilih, siapa yang mencalonkan, bilamana pasangan capres dan cawapres dilantik, kesemuanya telah tercantum secara jelas di dalamnya. Namun begitu dalam rangka pelaksanaannya tentu membutuhkan peraturan yang lebih terperinci melalui sebuah amanat pembentukan Undang-Undang, sehingga dalam Pasal 6A Ayat (5) disebutkan bahwa "tata cara pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden diatur lebih lanjut dalam sebuah Undang-Undang."  

Dalam point ini penulis berpendapat bahwa aturan terkait mekanisme pencalonan presiden dan wakil presiden dalam Undang-Undang Dasar sudah cukup jelas terutama dalam Pasal 6A Ayat (2) yang menyatakan bahwa capres-cawapres dicalonkan oleh partai politik dan gabungan partai politik yang telah mengikuti pemilu sebelum pencalonan tersebut diselenggarakan. Tafsir dari pasal ini berarti bahwa partai politik dan gabungan partai politik merupakan subjek tunggal dalam pencalonan presiden dan wakil presiden sementara kandidat bakal calon itu sebatas menjadi objek yang "di-calonkan" saja. Kemudian dalam Pasal 6A disebutkan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. Berarti apakah rakyat itu hanya bertugas memilihnya saja dan tidak berhak mencalonkan orang yang mereka anggap mempunyai kapasitas dan mampu? Padahal dalam bayangan saya sejatinya negara yang menerapkan sistem demokrasi artinya kedaulatan penuh berada di tangan rakyat entah itu dalam hal diberi kewenangan dalam mencalonkan kandidat pemimpin mereka sampai kepada memilihnya. Jika kita analisa secara sederhana yang termaktub dalam UUD 1945 Pasal 6A Ayat (1) dan Ayat (2) menyatakan bahwa yang berhak mencalonkan Calon Presiden dan Wakilnya adalah hanya partai politik atau gabungan partai politik. Memang secara teoritis orang-orang yang duduk di parlemen merupakan representasi perwakilan rakyat, kemudian beberapa pendapat mengatakan bahwa partai politik adalah pilar demokrasi. Namun dalam hal ini saya berpendapat bahwa redaksional dalam Pasal 6A Ayat (2) ini bisa menjadi cikal bakal lahirnya "parpolkrasi" alias kedaulatan partai politik yang tentu mendistorsi esensi dari "kedaulatan rakyat". Kedudukan para wakil rakyat di Parlemen ini dicalonkan oleh partai politik (untuk DPR RI) kemudian dipilih langsung oleh rakyat dalam pemilu legislatif untuk bekerja (mewakili rakyat) menjadi anggota dari lembaga legislatif yang mempunyai tiga fungsi yaitu pengawasan, anggaran, dan legislasi . Kemudian kedaulatan rakyat  berlanjut dalam menentukan seorang presiden sebagai pimpinan eksekutif (pemerintah) yang nantinya akan menjalankan undang-undang termasuk juga diberikan hak mengajukan pembentukan undang-undang. Bagaimana mungkin kita mengatakan bahwa pencalonan presiden dan wakil presiden dikatakan demokratis dan menjunjung tinggi asas kedaulatan rakyat jika mekanisme pencalonannya hanya mempunyai opsi tunggal dengan diwakilkan kepada partai politik dan gabungan partai politik? Tidakkah rakyat diberikan hak untuk menentukan calon pemimpinnya dan memberikan dukungan secara langsung ataupun secara kolektif.  Mengapa? Karena tidak semua masyarakat Indonesia tergabung kedalam partai politik, adapun pelimpahan mandat kepada anggota parpol untuk duduk di parlemen adalah untuk urusan lain diluar pencalonan presiden.

Menurut penulis perlu segera adanya amandemen konstitusi terutama pada Pasal 6A Ayat (2) setidaknya mengubah Calon Presiden dan Wakil Presiden sebagai subjek utamanya misalnya melalui redaksi Siapapun Rakyat Indonesia yang akan mencalonkan diri sebagai Presiden dan Wakil Presiden dapat melalui jalur pencalonan partai politik atau gabungan partai politik dan jalur perseorangan. Kemudian dalam ayat selanjutnya dijelaskan bahwa jika melalui partai politik sekurang-kurangnya harus mendapatkan dukungan partai politik parlemen dengan ambang batas pencalonan yang merupakan jumlah rata-rata dari perolehan suara lima partai politik teratas di DPR pada pemilu sebelumnya.  Sementara untuk jalur perorangan  harus mengantongi dukungan langsung dari rakyat sebesar 10% yang tersebar di 50%+1 provinsi di Indonesia. Jika seperti ini setidaknya rakyat masih diberikan haknya secara langsung menentukan calon pemimpin sendiri disamping mekanisme partai politik yang telah ada namun diperbaiki substansi subjek hukumnya dari yan tadinya partai politik kepada calon presiden itu sendiri yang berasal dari dorongan rakyat. Jika kita lihat misalnya dalam Pasal 223, 224, 225 terlihat kecenderungan dominan dari partai politik padahal jelas itu dalam bab pencalonan presiden.

Seperti halnya pendapat Ayon Diniyanto dalam artikelnya yang mana menitik beratkan hubungan kausalitas penerapan PT ini dengan nasib partai politik di Indonesia terutama bagi partai kecil dan partai baru yang tidak diberikan kesempatan untuk mengusung pasangan calon presiden dan hanya bisa ikut mendukung sebagai tim promosi atau tim sukses. Penerapan PT pada pemilihan umum serentak seperti halnya pada tahun 2019 akan ada pihak-pihak yang dirugikan baik itu partai baru dan partai lama sekalipun. (Diniyanto, 2018) .Berbeda dengan pendapat Lutfil Ansori yang lebih menelaah dari perspektif hukum menurutnya dalam mekanisme penjaringan calon presiden dan wakil presiden ini baik digunakan presidential threshold ataupun tidak keduanya sama saja tidak bisa dikatakan melanggar konstitusi. Mengapa? Karena presidential threshold adalah produk hukum terbuka dari pembentuk Undang-Undang.  

Hal itu juga berimbas pada akan sangat sulitnya memunculkan banyak pasangan capres baik yang berasal dari unsur partai dan non-partai. Dengan kata lain hanya partai besar saja yang diuntungkan oleh aturan tersebut. Lain halnya jika aturan PT dihilangkan (0%) maka keadilan politik akan terdistribusi keberpeluangan partai-partai politik di Indonesia.  Dan dengan beberapa kondisi ini dikatakan bahwa PT20% adalah agenda setting dari oligarki politik di Indonesia dalam hal ini penguasa yang   hanya melahirkan dua pasangan capres alias bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 terutama Pasal 6A Ayat (2), (3), dan (4) yang telah menjelaskan prosedural dari mulai tahan pencalonan sampai penentuan pemenang secara sistematis dan lengkap terkait pilpres. Jadi tidak mengherankan jika salah seorang pakar hokum tatanegara dari UGM menyatakan bahwa kebijakan tersebut adalah mengada-ada meskipun secara tafsir dapat dikatakan kehendak dari perumus kebijakan, tapi jika rakyat dan masyarakat tidak menyetujuinya dengan bukti banyaknya gugatan ke MK, tentu harus dikaji lebih dalam pada pelaksanaannya.

Kemudian, seiring berjalannya waktu dalam pengerjaan makalah ini penulis mendapatkan sebuah sudut baru dimana rumusan persoalan terkait PT ini beranjak pada tataran angka yang statis dan baku. Sementara kita ketahui bahwa seandainya yang dijadikan basis penentuannya adalah dukungan masyarakat terhadap partai politik ang kita ketahui terus bergerakmengikuti selera dan harapan masyarakat. Mengapa angka PT tidak diambil secara prosentase parpol di parlemen, sehingga pergerakan masyarak akan terekam dan menentukan angka PT yang menurut hemat penulis akan lebih adil. Misalkan angka PT adalah prosentase atau nilai rata-rata dari perolehan kursi atau suara masyarakat langsung pada lima parpol teratas. Maka jika kita merujuk pada hasil pileg 2019 dimana: PDIP (19.3%), Gerindra (12.5%), Golkar (12.3%), PKB (9,7%), Nasdem (9%), PKS (8.2%), Demokrat (7,7%), PAN (6.8%), dan PPP (4.5%). Jika digunakan rumusan PT dari lima besar di Parlemen maka angka PT untuk 2024 itu adalah sebesar 12.5%. Jika begitu, maka kemungkinan lahirnya pasangan capres-cawapres dapat terjadi. 

Mari kita coba kilas balik pada pengaturan PT untuk pertama kalinya yang termaktub dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, dimana ambang batas pencalonan presiden terdapat dalam pasal 5 ayat (4) yaitu sebesar 15% kursi DPR atau 20% perolehan suara sah secara nasional. Namun dalam pasal 101 adanya aturan peralihan khusus untuk pemilihan presiden langsung pertama pada tahun 2004 ditetapkan angka PT sebesar 3% kursi parleme dan atau 5% suara sah nasional. Pada pilpres 2004 waktu itu terdapat lima pasangan calon presiden yaitu Mega-Hasyim, Wiranto-Salahuddin Wahid, Amin Rais-Siswono, SBY-Kalla, Hamzah –Agum Gumelar. Diantara lima pasangan tersebut Hamzah –Agum Gumelar menjadi satu-satunya pasangan calon yang diusung sendiri oleh satu parpol yaitu PPP dengan prosentase 8%, kemudian terkecil kedua adalah SBY-JK dengan modal dukungan 10% (Demokrat-PBB-PKPI). 

Apakah yang terjadi dengan pengaturan PT yang kecil ini? Hasilnya sangat mencengangkan karena ternyata perolehan suara tiap pasangan tidak berbanding lurus dengan modal suara dukungan diawal pendaftaran di KPU. Misalnya, pada putaran pertama, pasangan SBY-JK yang bermodalkan dukunga kurang lebih 10% akhirnya mampu mendapat suara terbanyak yaitu 33% sementara diurutan kedua pasangan Mega-Hasyim dengan 26.6% padahal modal dukungan awalnya lebih kecil sebesar 18.% (PDI-PDS). Kemudian di putaran kedua, SBY-JK dinyatakan sebagai pemenang dengan perolehan suara 60.6% padahal secara komposisi dukungan paslon Mega-Hasyim lebih besar perbandingannya 65:35 persen. 

Kontelasi pemilu 2004 ini tentu menjadi evaluasi terutama bagi parpol dalam hal pilpres dan kaitannya dengan angka ambang batas bagi parpol pengusung (presidential threshold) karena bagi para parpol besar sekelas PDIP dan Golkar bisa dikatakan ‘kalah dengan permainan sendiri’. Pengecualian pada pasal 101 yang memperbolehkan angka PT kecil berimbas pada banyaknya pasangan capres-cawapres dan para ‘ahli nujum politik’ agak sedikit buta dalam membaca peta politik beserta pergerakannya. Bagi penulis setidaknya ada tiga komponen penentu dalam konstelasi pemilihan presiden yaitu, besaran anga PT, kekuatan figur, dan selera masyarakat. Disaat angka PT kecil, berdampak melahirkan pasangan capres-cawapres lebih banyak, sehingga dapat memunculkan figur yang memikat hati rakyat sekalipun dengan modal awal dukungan kecil dan kondisi ini tentu tidak dikehendaki para elit parpol. Maka dari itu, angka PT tetap dipertahankan dengan angka tinggi, agar pasangan sangat sedikit terbukti di tahun 2014 dan 2019 yang hanya melahirkan dua pasangan calon saja. 

Sebagai bagian dari komponen masyarakat, penulis berpendapat bahwasannya gugatan ke MK terkait Presidential Threshold tidak akan membuahkan hasil positif karena kepentingan yang membekingnya sangat besar. Adapun perjuangan yang tidak kalah penting antara lain melalui Amandemen UUD 1945 Pasal 6A Ayat (2) dengan jalan mendesak dibukanya keran Capres Jalur Perseorangan (Non Partai) yang nanti dalam turunannya yaitu dalam Undang-Undang Pemilihan Presiden diatur terkait peranan organisasi kemasyarakatan (Ormas) menjadi komponen pengusung. Kita ketahui selama ini tidak sedikit Ormas yang terkooptasi oleh sebuah partai politik. Hemat saya dengan penguatan basis organisasi kemasyarakat yang lebih terstruktur dan fungsional akan dapat mendorong demokrasi yang lebih baik. Sehingga mandat rakyat dapat terbagi dalam komposisi kekuatan politik yang lebih dinamis. 

Disaat parpol sebagai organisasi politik telah berusaha menelikung dan ‘mengkhianati mandat rakyat’ maka rakyat masih mempunyai kekuatan cadangan yaitu membangun kekuatan diluar parpol salah satunya ormas untuk mengusung calon pemimpin idaman mereka sebagai capres. Amandemen ini sangat perlu, karena selama ini parpol jadi aktor tunggal yang menentukan siapa yang menjadi capres-cawapres. Rakyat hanya disuruh memilih orang-orang yang telah ditentukan para oligarki politik. Apa yang terjadi jika Prabowo menang? Ya tidak akan berbeda jauh menurut saya, karena sekalipun mereka berdiri dengan ‘bendera yang berbeda’ namun tetap dalam kesatuan ‘agenda besar yang sama’ yaitu mengedepankan kepentingan kelompoknya. Sebut saja Omnibus Law dan Undang-Undang Ibu Kota Negara yang dapat dengan mudah diputuskan karena sudah tidak ada lagi partai oposisi, semua tergiur dengan ‘manisnya gula kekuasaan’ dan rakyat dipaksa mencicipi ‘pahitnya kebijakan negara’. 


D. Conclution (Kesimpulan)

1. Angka presidential threshold yang ditetapkan dan tidak berusaha dirubah oleh Pemerintah dan DPR jelas mencederai demokrasi dengan jalan menghambat aspirasi masyarakat khususnya dalam pencalonan presiden dan wakil presiden.

2. Perlu dilakukan amandemen UUD 1945 Pasal 6A Ayat (2) yang memberikan superioritas ke partai politik untuk menentukan siapa yang akan menjadi pasangan capres-cawapres. Karena sistem politik kita adalah demokrasi (kedaulatan rakyat) bukan parpolkrasi. Rakyat jangan mau didikte oleh elite politik. 

3. Perlu juga dilakukan revisi dalam proses penentuan hakim Mahkamah Konstitusi karena saat ini jumlah hakim sembilan orang yang terdiri dari masing-masing tiga dari pemerintah, parlemen, dan mahkamah agung. Jika parlemen dan pemerintah berkoalisi secara penuh sementara kita ketahui tersisa setidaknya tiga hakim yang objektif dari MA, dalam kondisi dan situasi bagaimana gugatan masyarakat yang lebih dari ‘jumlah bulan dalam setahun’ itu dapat dikabulkan?

4. Kekuatan rakyat telah kalah oleh kekuatan politik segelintir orang yang telah dilindungi oleh hukum yang mereka buat. Hukum yang sejatinya dapat menjadi payung keadilan bagi seluruh rakyat nyata-nyata telah dijadikan alat bantu memuluskan kepentingan segelintir orang, diperjualbelikan dimana-mana, maka dari itu benar kata Prof Yusril Ihza Mahendra bahwa perlu perbaikan sistem hukum yang menyeluruh dari mulai hulu ke hilir. Rakyat sudah tidak bisa lagi mengharapkan perbaikan pada para politisi. Rakyat harus memberikan mandat besar kepada para akademisi (kaum intelektual) untuk bergerak bersama melakukan evaluasi besar-besaran dalam bidang hukum.

5. Sesuai yang termaktub dalam UUD 1945 kita memang adalah negara hukum (rechstaat) karena “hukum=keadilan” secara das sein. Namun pada kenyataannya (das sollen) hukum menjelma menjadi ‘keadilan dengan mata terpejam atau keadilan dengan sebelah mata’. Karena saat kita berusaha membuka mata lebar-lebar ‘hukum itu tak dirasakan adanya, bahkan tak jarang ia menjelma menjadi ‘hukum rimba’. Rakyat tak berdya dengan hukumnya sendiri. Karena prinsipnya, siapa yang kuat maka dia dan merekalah yang berhak ‘menentukan hukum’ sementara rakyat hanya dididik dan diajarkan untuk tunduk dan patuh saja.  


Untungnya kita rakyat Indoensia mayoritas sebagai ‘umat beragama’ (tidak atheis), sehingga saat dikecewakan dan tersakiti oleh negara (baca:bukan mantan), ada agama yang senantiasa mengobati dan memberikan harapan. Allohu Akbar!


Alhamdulillah

Wallohu a’lamu bisshowab


References

Ansori, L. (2017). TELAAH TERHADAP PRESIDENTIAL THRESHOLD DALAM PEMILU SERENTAK 2019. Jurnal Yuridis UIN Sunan Ampel, 15-27.

Diniyanto, A. (2018). Mengukur Dampak Penerapan Presidential Threshold di Pemilu Serentak Tahun 2019. Jurnal Indonesian State Law Review FH UNS, 83-90.

Ghoffar, A. (2018). Problematika Presidential Threshold Putusan Mahkamah Konstitusi dan Pengalaman di Negara Lain. Jurnal MKRI, 481-501.

M Siddiq Armia, d. (2016). Penghapusan Presidential Threshold Sebagai Upaya Pemulihan Hak Hak Konstitusional. Jurnal PETITA Uin Ar-Raniry, 84-89.

Muhammad Mukhtarrija, d. (2018). Inefektivitas Pengaturan Presidential Threshold Dalam UU No 7 Yahun 2017 Tentang Pemilihan Umum. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum UII, 644-662.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku Post Festum Demokrasi dan Kesetaraan

MAKALAH SUBSTANSI HUKUM

Resensi Buku Demokrasi Kapitalisme