Muhammad Yamin, Pelopor Hak Asasi Manusia di Awal Republik
Jalan Muhammad Yamin berada tepat berada di sebelah Gedung Kedutaan Besar (Kedubes) Inggris di kawasan elit Menteng, Jakarta Selatan. Yamin adalah salah seorang tokoh hukum yang namanya diabadikan menjadi nama jalan penting di banyak
Mungkin penabalan nama Yakim sebagai nama jalan bukan kebetulan. Ia adalah pahlawan nasional yang kiprahnya pada masa awal kemerdekaan diakui. Berkat catatan-catatan Yamin pula kita bisa mengetahui perdebatan yang terjadi pada masa meletakkan dasar-dasar konstitusional negara
Tetapi Yamin juga menimbulkan kontroversi. Si empunya nama jalan memang sempat dituduh berpaham 'kebarat-baratan' di awal pembentukan Republik
Masih terekam dalam catatan sejarah bagaimana pria yang sempat berprofesi sebagai advokat ini harus berdebat hebat dengan Soekarno dan Soepomo dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Kala itu, Yamin keukeuh agar deklarasi hak asasi manusia diatur dalam konstitusi. Sedangkan, Soepomo bertahan pada negara
“Jangan menyandarkan negara kita pada aliran perseorangan, akan tetapi pada aliran kekeluargaan. Oleha karena menurut pikirsan saya aliran kekeluargaan sesuai dengan sifat ketimuran. Jadi saya anggap tidak perlu mengadakan declaration of rights,” ujar Soepomo sebagamana tercatat dalam Buku Risalah BPUPKI dan PPKI terbitan Sekretaris Negara.
Yamin merasa perlu sekali lagi mengulang penjelasannya. “Saya minta perhatian betul-betul, karena yang kita bicarakan ini hak rakyat,” ujarnya. Ia melanjutkan, bila hak rakyat itu tidak terang dalam konstitusi maka telah terjadi kekhilafan. “Grondwettelijke fout.” Artinya, kesalahan undang-undang hukum dasar. “Itu besar sekali dosanya buat rakyat,” tuturnya.
Apalagi, lanjut Yamin, rakyat
Pandangan-pandangan Yamin memang menarik untuk diteliti. Salah satunya bagi Syafriadi Asri. Ketika hendak menyelesaikan kuliah pascasarjana Ilmu Hukum di UI, Syafriadi menulis tesis mengenai Yamin. Menurut Syahriadi, ada perbedaan pandangan yang tajam antara Yamin dengan Soepomo. Kala itu, founding fathers terpecah dua kubu dalam menyikapi jaminan hak asasi manusia dalam konstitusi. Yakni, kubu Yamin-Hatta versus Soepomo-Soekarno. “Cuma Yamin lebih kencang menyuarakan HAM ke dalam konstitusi dibanding Hatta,” ujarnya.
Menurut Syafriadi, latar belakang kultural yang menyebabkan tajamnya pandangan Yamin dengan Soepomo. Yamin lahir dari lingkungan Minangkabau yang egaliter sedangkan Soepomo lahir dari masyarakat Jawa yang bercorak feodalistik. “Itu alasan mengapa pemikiran mereka berbeda,” duga Syafriadi.
Dari sudut latar belakang pendidikan posisi keduanya memang terbalik. Soepomo pernah mengenyam pendidikan di Belanda, sedangkan Yamin merupakan sarjana hukum asli produk dalam negeri. Yamin merupakan angkatan pertama Sekolah Tinggi Hukum Hindia Belanda. Ia memperoleh gelar Meester in de Rechten pada 1927.
Naluri pembelaan HAM Yamin tak hanya berhenti ketika pembentukan dasar negara di awal republik. Restu Gunawan dalam buku bertajuk 'Muhammad Yamin dan Cita-Cita Persatuan' menggambarkan kiprah Yamin sebagai Menteri Kehakiman pada periode 1951-1952.
Kala itu, Yamin diwarisi untuk mengurus 17 ribu tahanan dari kabinet sebelumnya. Kebanyakan dari tahanan itu ditahan tanpa proses persidangan sejak 1949 karena dicap komunis atau sosialis. Kala itu, Yamin membebaskan 950 tapol yang ditahan tanpa proses penuntutan.
Advokat Senior, Adnan Buyung Nasution adalah salah satu saksi keberanian Yamin itu. “Yang pertama dia lakukan ketikan menjadi Menkeh adalah membebaskan semua tahanan politik. Dia anti subversif karena orang-orang ditangkap tanpa ada alasan yang jelas,” ungkap Buyung kepada hukumonline.
Yamin lalu diserang Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) gara-gara kebijakannya ini. Satu kalimat tegas milik Yamin yang masih terngiang di kuping Buyung. “Saya tanggung jawab”. Akhirnya, tanpa grasi atau remisi, Yamin membebaskan orang-orang yang tidak bersalah itu.
Juris-Sejarawan-Sastrawan
Yamin memang terkenal sebagai juris atau ahli hukum yang mumpuni di eranya. Ia juga cukup aktif menelurkan pemikirannya dalam bentuk buku. Prof. Jimly Asshiddiqie bahkan menyebut Yamin sebagai salah seorang sarjana hukum yang sangat banyak menulis buku. Salah satu karyanya yang terkenal adalah “Sapta Parwa Tata Negara Majapahit'. Buku itu merupakan bukti bahwa Yamin memang salah seorang pakar hukum tata negara yang pernah dimiliki negara ini.
Tak hanya itu, Yamin juga berkarya bak seorang sejarawan dengan menulis biografi Gajah Mada. Niatnya untuk melindungi teks sejarah juga patut diacungi jempol. Risalah rapat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Nilai sejarah buku tersebut tak sembarangan. Pasalnya, dari buku itulah terlihat original intent dari teks UUD 1945. Buku itu bahkan kerap menjadi rujukan pemerhati hukum tata negara selama bertahun-tahun. Memang buku serupa banyak ditemukan, namun karya Yamin dinilai lebih orisinil karena ia terlibat langsung dalam pembahasan UUD 1945 itu.
Selain sebagai sejarawan, Yamin yang mendapat gelar kepahlawanan pada 6 November 1973 ini juga sangat mencintai sastra. Berpuluh atau bahkan beratus sajak sudah ditelurkannya. Bahkan ketika sidang pembasahan dasar negara di BPUPKI pun, ia masih sempat melantunkan sajak di akhir pemaparannya. Sajak yang menggambarkan kecintaannya pada ibu pertiwi.
“Hati yang mukmin selalu meminta
Kepada Tuhan Yang Maha Esa,
Supaya Negara Republik
Kuat dan kokoh selama-lamanya
Melindungi rakyat, makmur selamat,
Hidup bersatu di laut- di darat”
Komentar
Posting Komentar
Silahkan Comment Disini...