Memaksimalkan Peranan Mahasiswa Dan Partai Politik
“Memaksimalkan Peranan Mahasiswa Dalam
Melakukan Harmonisasi Antara
Masyarakat dan Partai Politik: Menuju
Indonesia Yang Lebih Demokratis”
Oleh: Ihsan
Ahmad Barokah[1]
“Gerakan mahasiswa tampaknya memang sudah menjadi tuntutan zaman. Ia timbul-tenggelam
dalam pergolakan bangsa-bangsa yang ingin menata kehidupan demokrasinya secara
lebih beradab antara lain dengan mengikutsertakan suara-suara kaum mudanya.
Menurut Philip G. Albach, bahwa aktivitas kemahasiswaan di Dunia Ketiga tetap
merupakan suatu faktor penting…”[2]
“Partai politik
adalah sebagai sarana penyalur aspirasi masyarakat yang memiliki berbagai
fungsi antara lain: sosialisasi politik; komunikasi politik; pembentukan kader
politik; dan pengendali konflik di
masyarakat…”[3]
A.
Mahasiswa, Masyarakat,
dan Partai Politik
Melakukan
kajian tentang sistem politik tentu akan lebih menarik jika mengupas hubungan
antara: masyarakat; mahasiswa; dan partai politik. Ketiganya mempunyai
keterkaitan dan keberpengaruhan antara satu dan lainnya. Mahasiswa yang
merupakan kaum ‘elite’ masyarakat seharusnya mampu untuk memberikan contoh yang
baik dengan perilaku dan tindakan positif guna mendorong terciptanya
harmonisasi antara masyarakat dan partai politik. Dengan kata lain, mahasiswa
harus mampu merajut kembali rasa kepercayaan (Trust) masyarakat terhadap partai politik yang mulai memudar. Menurut
Philip G. Albach ‘peranan mahasiswa’ sangatlah penting bagi perkembangan Negara
Dunia Ketiga seperti Indonesia yang saat ini berada pada ‘masa transisi’ menuju
Demokrasi.
Mahasiswa Indonesia
selalu mampu menggoreskan tinta emasnya dalam sejarah bangsa ini. Mahasiswa
tentunya memiliki peranan cukup besar dalam ‘perbaikan sebuah bangsa’. Kiranya
‘keberhasilan’ mahasiswa Indonesia mendesak Soeharto turun, memulihkan kembali
ketidakyakinan atas keampuhan suara
mahasiswa mempengaruhi proses politik. Bahkan tidak berlebihan pendapat yang
menyatakan bahwa: sedikit banyak mahasiswa di Dunia Ketiga telah bertindak
sebagai “hati nurani” masyarakat mereka.Ketika nyaris semua kekuatan politik
bungkam, mahasiswalah yang meretas kebekuan itu.[4]Mahasiswa
hidup di tengah-tengah masyarakat. Itulah sebabnya mereka mengerti dan memahami
betul apa yang dirasakan dan dialami masyarakat. Secara manusiawi, orang
seharusnya bersyukur atas politik moral mahasiwa ini. Sebab, saat mengalami
tekanan hidup yang makin berat sekalipun, masyarakat tak melakukan tuntutan
karena tak menyadari hak dan kedaulatannya, sedangkan mahasiswa tampil
membangkitkan harkat kemanusiaan warga masyarakat lewat tuntutan untuk
melaksanakan reformasi politik kepada penguasa dan pemerintah.[5]
Gerakan
mahasiswa hari ini nampaknya mulai kehilangan arah perjuangan mereka. Tidak adanya satu ‘musuh bersama’ semacam
orde baru turut menambah perpecahan dalam gerakan mahasiswa. Oleh karena
itu mahasiswa harus segera merumuskan
kembali (reorientasi) dan menentukan:
“Format perjuangan seperti apakah yang hendak ditempuh di era Demokrasi seperti
saat ini? Hemat saya, Mahasiswa haruslah
mempunyai kesadaran politik yang lebih tinggi dibanding masyarakat pada
umumnya. Apalagi bagi kita sebagai mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan ilmu
Politik yang mempunyai beban dan tanggung jawab mengamalkan ilmu pengetahuan
pada tataran yang lebih nyata (praktek). Saya sepakat bahwa dalam kehidupan ini
setidaknya mempunyai dua sisi yaitu: 1)
sisi ‘teori’; dan 2) sisi ‘praktek’. Ibarat pengertian ‘politik sebagi ilmu’
dan ‘politik sebagai seni’. Hemat saya, ilmu politik yang kita pelajari di
ruang kuliah hanya akan menjadi sebuah ‘keniscayaan’ semata jika tidak dipraktekan dalam kehidupan
sehari-hari. Sebaliknya, ilmu itu akan mendatangkan sebuah ‘kemanfaatan’ jika
kita mampu mengolahnya – dengan kreativitas menjadi sebuah ‘seni politik’ yang
kita gunakan untuk memajukan masyarakat. “Ilmu tanpa praktek hanya akan jadi
sampah dalam pikiran saja, sementara praktek tanpa teori pun akan menjadi
sebuah kedzoliman”
Adalah
sebuah kewajaran apabila sebagian masyarakat masih ‘alergi’ dengan yang namanya
“politik” (termasuk:partai politik). Mereka hanya menilai ‘politik’ dari sisi apa
yang dilihat dan didengar (das sein).
Sementara mahasiswa ilmu politik mampu menilai “politik” bukan hanya das sein (yang terlihat/terjadi) saja,
akan tetapi juga das sollen (yang
seharusnya). Sehingga mahasiswa tentu akan mempunyai rasa optimisme lebih
tinggi dalam misi menghilangkan jurang pemisah antara ilmu yang dipelajari
dengan fakta yang terjadi. Bagi saya, ilmu sosial itu sangat “ideal”. Kesemuanya
bertujuan menciptakan kehidupan manusia yang lebih baik (good life) termasuk ilmu politik.
Misal: “Tidak ada satu pun ahli yang menyatakan bahwa: kewajiban partai
politik adalah bagi-bagi uang (money
politic) saat pemilu.” Akan tetapi hal itu terjadi pada tataran prakteknya.
Asumsi saya terkait fenomena ini ada dua: Pertama,
pelakunya tahu bahwa bagi-bagi uang itu tidak ada dalam teori partai
politik. Akan tetapi karena egois partainya ingin menang secara instant maka dia melakukannya.Kedua, dia melakukan itu karena memang
betul-betul tidak tahu tentang teori partai politik. Dengan kata lain dia
‘praktek’ tanpa ‘teori’. Disinilah peranan mahasiswa diperlukan oleh masyarakat
sekaligus partai politik. Setidaknya dia mampu bertindak sebagai ‘dewan juri’,
‘wasit’ atau ‘hakim garis’. Tetap teguh memandang bahwa ‘politik’ itu adalah
“neutral” (tidak berpihak atau menguntungkan salah satu pihak) melainkan hanya
demi terciptanya kehidupan manusia yang lebih baik lagi. Baik buruknya politik
ditentukan oleh sang pelaku. Seorang Pemimpin Politik akan mampu mendatangkan
kesejahteraan bagi masyarakat jika mempunyai niat baik untuk memajukan bangsa
(ego kolektif). Akan tetapi seorang pemimpin politik akan mendatangkan
malapetaka bagi masyarakatnya jika dia hanya ingin mementingkan keuntungan
dirinya sendiri (ego individual). Jadi, tidak bijak disaat kita memvonis bahwa
“Politik” itu “baik” atau “jahat”. Tergantung siapa yang melakukannya?
Partai
politik merupakan wahana bagi masyarakat dalam menyadarkan hak-hak politik tiap
warga masyarakat. Hak berpendapat, hak mengeluarkan suara melalui pemilihan
umum, dan hak-hak lain. Semua hak ini akan terpelihara melalui perjuangan
partai politik. Masyarakat disadarkan betapa pentingnya ikut memikirkan
kehidupan politik kenegaraan, berpartisipasi dalam proses pembentukan
pemerintahan, memilih orang-orang yang akan diangkat menjadi penguasa, ikut
andil menentukan kebijakan public, kesemuanya pendapat itu dapat disalurkan
melalui kekuatan partai politik. Tanpa memiliki kesadaran dan pengetahuan
mengenai fungsi partai politik, masyarakat akan dirugikan sendiri, karena
hak-hak politiknya tidak digunakan sebagaimana mestinya. Ada pepatah mengatakan
“Lebih baik buta huruf daripada buta
politik” artinya sebagai warga Negara yang mempunyai hak-hak politik,
sebagai rakyat pemilih kekuasaan yang kemudian kekuasaan tersebut diserahkan
kepada penguasa agar mereka dapat mengatur Negara, mengeluarkan kebijakan demi
mensejahterakan rakyat, maka rakyat yang telah melimpahkan kepercayaan itu
harus melakukan control social,
pengawasan politis, hal itu dapat dilakukan melalui mekanisme pengawasan partai
politik terhadap penguasa yang sedang menjalan amanah kekuasaan tersebut. Untuk
itu partai politik memiliki fungsi sebagai sarana sosialisasi terhadap penyadaran
akan hak-hak warga Negara (hak-hak rakyat), penyampaian informasi yang benar,
ikut mendidik masyarakat dalam memelihara hak-hak politiknya.[6]
B.
Menumbuhkan
Sikap Saling Percaya
Disatu sisi, masyarakat mulai ‘hilang percaya’
terhadap partai politik karena berbagai praktek ‘tak senonoh’ (politik busuk)
dilakukan oleh para kader partai. Secara sederhana masyarakat menginginkan
“Politik” itu harus –nempo kanu leutik
(b.ind: melihat pada yang kecil), namun yang dirasakan adalah “Pulitik” alias –nipu kanu leutik (b.ind: menipu sama
yang kecil). Ini tentu menjadi ‘tugas mahasiswa’ dalam rangka meluruskan
pandangan dan tindakan diantara kedua belah pihak. Namun, apa yang terjadi
selanjutnya? Disaat masyarakat ‘dipaksa’ untuk percaya dengan langkah-langkah
yang ditawarkan mahasiswa, disisi lain muncullah berbagai keraguan dalam benak
masyarakat: “Bagaimana bisa ‘kami’ (baca:masyarakat) mempercayai kalian “wahai
mahasiswa”! disaat kami sering melihat
kalian demonstrasi ‘bakar ban’ dan memblokade jalan raya! yang akhirnya
menghalangi jalan kami untuk pergi ke pasar atau tempat kerja???” “Bagaimana
kami bisa percaya kalian disaat kami melihat di televisi: kalian saling lempar
batu dengan teman seperjuangan kalian???” “Apakah itu yang disebut dengan kaum
intelektual???”Tentu pertanyaan-pertanyaan ini menjadi mortir yang dapat
menghancurkan rasa optimisme kita sebagai mahasiswa dalam melakukan perubahan.
Akan tetapi, sebagai “Agent Of Change” tentu kita harus mampu menjawab
pertanyaan-pertanyaan itu dengan “pembuktian terbalik” bahwa: hanya sebagian
kecil saja mahasiswa yang memilih jalan perjuangan seperti itu. “Sementara
sebagian besar lainnya berjuang melalui langkah-langkah kongkrit yang
bersentuhan langsung dengan masyarakat.Melakukan pengabdian secara tulus kepada
masyarakat.Melakukan penelitian dan pengkajian mengenai permasalahan yang ada
di masyarakat. Seandainya hal ini dapat dibuktikan pada kondisi yang
sesungguhnya (bukan hanya jawaban diatas kertas), saya optimis: kepercayaan
masyarakat terhadap mahasiswa akan kembali seperti dahulu. Mereka
(baca:masyarakat) akan bersedia ‘menaruh harapan besar’ di atas pundak kita!
Kita akan dipercaya menjadi ‘Pemimpin’ di masa mendatang mewakili mereka! Hal
ini tentu bukanlah: “khayalan di siang bolong” atau “omong-omong yang kosong”
belaka. Jika ‘mulai saat ini’ kita (mahasiswa) mempunyai komitmen terhadap diri
sendiri untuk ‘mengabdikan diri kepada masyarakat secara utuh’.Mempersiapkan
diri kita sebaik mungkin, dibekali ilmu pengetahuan dan pengalaman, agar
dikemudian hari kita dapat menuai buah dari yang namanya “perjuangan”. Bagi saya, ini adalah sebuah ‘tekad bulat’
dari seorang –MAHA -SISWA…
Meskipun jalan didepan begitu curam dan terjal. Meskipun
membutuhkan keringat terkadang darah. Meskipun memerlukan suara lantang
berakhir tangisan. Meskipun membutuhkan pengorbanan dan uluran. Tentu hal-hal
itu bukan persoalan yang akan membuat saya: ‘patah arah’ dan ‘berakhir
menyerah’. Tak ada kata menyerah! Hiduplah! Mahasiswa!
C.
Kesimpulan
Mahasiswa
tentu tidak mau dipandang ‘sebelah mata’ atau dipandang dengan ‘mata
sebelah’.Mahasiswa hari ini harus mampu membuktikan kualitasnya, memberikan
jalan keluar (win-win solution) atas
berbagai permasalahan bangsa ini yang begitu kompleks.Bahkan mahasiswa harus
siap untuk tampil kedepan dan menyelesaikan berbagai permasalahan itu ‘sampai tuntas’.[7] Dengan
dibekali daya nalar yang begitu kritis, sehingga pada akhirnya akan mampu
mengkritisi berbagai kejanggalan atau ketidakberesan yang dilakukan para ‘elit
bangsa ini’, mengkritisi berbagai perilaku menyimpang yang dilakukan oleh para
‘anggota dewan yang terhormat’, mengkritisi berbagai kebijakan yang tidak
berpihak kepada masyarakat. Tentu dengan menggunakan cara-cara yang baik
(intelek). Kata-kata yang baik (sopan). Bukan dengan cara-cara “anarkis gaya
kaum bar-bar” yang pada akhirnya hanya akan mencederai ‘niat suci’ para ‘kaum
intelektual’ ini untuk mengabdi kepada masyarakat, bangsa dan Negaranya.
Ya,
setidaknya sebuah gagasan besar ini akan sedikit demi sedikit penulis perkecil
sesuai dengan proporsi yang sekiranya dapat dilakukan secara rasional pada
kondisi saat ini sebagai mahasiswa Ilmu Pemerintahan Unjani. Dalam arti gagasan
ini bersifat temporal (bhs.sunda: makin katempo makin meral) incidental (bhs.sunda: lamun aya insiden ulah mental). Mudah
mudahan dari mulai belajar ‘menyusun kata-kata dalam papper ini’, dikemudian hari akan mampu ‘menyusun langkah-langkah
strategis dalam menyelesaikan permasalahan bangsa’.
Amien-------------------------
Kiranya,
disaat kita mempunyai jalan dan tujuan yang sama, apa salahnya untuk “Kita”
(Mahasiswa, Masyarakat, dan Partai Politik) saling mempercayai, saling
mengingati, dan saling peduli serta menyayangi. Mari kita bangun kembali
“Kepercayaan” (Trust) diantara kita
semua. Dengan begitu (mudah-mudahan) akan terjadi sebuah sinergisitas
(kesatuan) dan kekuatan untuk menciptakan “Indonesia yang Lebih Demokratis”
(***)
DAFTAR PUSTAKA
v Dedy
Djamaluddin Malik. 1998. Gejolak Reformasi Menolak Anarki
Jakarta :
Penerbit Zaman
v Ir. H.
Suroto, MM dan Drs Doddy Budianto, MM . 2003. Partai-Partai Politik di Indonesia
Jakarta: PT
Cintra Mandala Pratama.
v A.
Riawan Amin. 2008. Indonesia Militan:
Intelktual, Kompetitif, Regeneratif.
Jakarta:
Celestial Pub.
v Berbagai
sumber secara tidak langsung (obrolan, bacaan, pemikiran)
v Tambahan[8]
(^-^)/ Alhamdulillah…
[1]
Mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Jendral Achmad Yani (Dalam proses belajar membuat tulisan)
[2] Dedy Djamaluddin Malik. 1998. Gejolak
Reformasi Menolak Anarki Jakarta :
Penerbit Zaman hal:16
[3] Ir. H. Suroto, MM dan Drs Doddy
Budianto, MM . 2003. Partai-Partai Politik
di Indonesia Jakarta: PT Cintra Mandala Pratama.
[4]
Djamaluddin Malik, Op.Cit., hal: 16
[5]
Ibid. hal: 37
[6]Suroto
dan Doddy, Op.Cit.
[7]
A. Riawan Amin. Indonesia Militan:
Intelktual, Kompetitif, Regeneratif. Jakarta: Celestial Pub.
[8]Tulisan ini dibuat secara orisinal dari penulis (namun
dalam tahap latihan menulis essay)
Jadi, harap dimaklumi jika terjadi beberapa kesalahan
dan kerancuan disana sini.Unjani.ac.id
Komentar
Posting Komentar
Silahkan Comment Disini...